Brilio.net - Meraih gelar doktor seperti berlayar di lautan. Setiap ombak adalah tantangan yang menuntut ketahanan pikiran. Banyak orang yang berjuang keras selama bertahun-tahun, menguras pikiran dan tenaga, untuk mencapai puncaknya. Belum lagi di perjalanan, banyak yang harus melewati berbagai rintangan. Mulai dari penelitian hingga kebingungan menghadapi revisian usai bimbingan.

Namun, bagi sebagian orang jalan menuju puncak itu bisa menjadi lebih cepat. Seperti angin segar, mampu melesat ke atas hanya dalam waktu singkat. Sayangnya, ini membuat kita bertanya-tanya, apakah gelar doktor kini menjadi hal yang bisa dicapai dalam sekejap?

Muhammad Hafizurrachman Syarief, seorang mahasiswa program doktor Ilmu Kedokteran, berhasil mencatatkan namanya dalam sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan menyelesaikan studinya dalam waktu singkat, yaitu 1 tahun 7 bulan. Pencapaian ini luar biasa, mengingat biasanya studi S3 memerlukan waktu antara 3 hingga 4 tahun. Dalam wisuda pascasarjana yang diadakan di Graha Saba Pramana, Hafizurrachman juga dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude, mendapatkan IPK 3,76.

Karena prestasi ini, Museum Rekor Indonesia (MURI) memberikan penghargaan kepada Hafizurrachman, yang juga merupakan staf pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Penyerahan penghargaanini berlangsung di Auditorium Fakultas Kedokteran UGM. Tentu, ini adalah momen yang membanggakan.

Apalagi baru-baru ini Bahlil Lahadalia juga berhasil mendapatkan gelar doktor dalam waktu hanya 1,5 tahun. Mungkin kita perlu bertanya, apakah ada yang bisa lebih cepat dari itu? Atau mungkin gelar doktor kini hanya jadi label yang bisa dibeli dengan kecepatan?

gelar doktor  2024 brilio.net

foto: Instagram/@sksg_ui

Pencapaian Hafizurrachman sangat mengesankan. Lalu, bagaimana ia bisa mencapai kesuksesan ini?

Dilansir brilio.net dari laman ugm.ac.id, Hafizurrachman menyatakan bahwa semua itu hasil kerja keras dan disiplin. "Kesuksesan itu bukan datang tiba-tiba, melainkan buah dari usaha," ungkapnya.

Namun, di sisi lain, ada yang berlari kencang seperti pelari marathon tetapi tanpa mengerti makna dari setiap langkah yang diambil. Gelar doktor instan mungkin membuat kita bertanya-tanya tentang kualitas dan substansi di baliknya.

Mengapa Hafizurrachman bisa menyelesaikan studi dengan cepat? Ia menjelaskan bahwa sebelum perkuliahan dimulai, ia mengikuti program kursus di FK UGM, yang membantunya menghemat satu semester. Ia mengambil 6 SKS di tiga universitas berbeda. Namun, ia menekankan bahwa keberhasilannya bukan hanya karena itu. Ia tidak mengalami banyak kendala dalam menyelesaikan disertasinya, yang sering menjadi batu sandungan bagi mahasiswa lain.

Sebagai dosen yang mengajar metode penelitian, Hafizurrachman merasa siap dan tidak bingung saat harus menulis disertasi. Ia mempersiapkan rancangan penelitiannya sejak awal dan terus mengerjakannya secara bertahap.

"Disertasi saya mencapai 700 halaman dengan 300 referensi. Saya menulis 1-2 halaman setiap hari dengan disiplin," dikutip Brilio.net dari laman ugm.ac.id (17/10).

Pengalaman sebelumnya di Universitas Negeri Jakarta juga sangat membantunya. "Seperti orang yang sudah berpengalaman menikah, saat menikah lagi, tentu sudah lebih paham," katanya. Meskipun tidak menyangka bisa lulus secepat itu, ia bersyukur atas pencapaiannya.

Hafizurrachman juga mengatakan bahwa ia sebenarnya bisa lebih cepat lagi. Ia mengajukan tanggal ujian yang lebih awal, tetapi disarankan untuk menundanya agar tidak menghebohkan. Sembari menunggu wisuda, ia iseng mengikuti pemilihan Rektor UGM dan bercanda tentang melantik dirinya sendiri.

Di sisi lain, ada Willy Abdillah, yang meraih gelar doktor termuda di usia 32 tahun dengan IPK 3,95 dalam waktu 3 tahun 1 bulan. Willy tumbuh dalam keluarga sederhana, dan meraih gelar sarjana bukanlah perjalanan mudah. Meski tidak diizinkan kuliah oleh orang tuanya, ia tak menyerah dan tetap berjuang hingga bisa masuk perguruan tinggi.

Willy menjelaskan bahwa studi doktoralnya adalah proses yang panjang dan berbeda dari S1 atau S2. "Kuncinya adalah manajemen diri," dikutip Brilio.net. Ia juga berhasil mempercepat masa studi berkat program khusus yang mengundang lulusan berprestasi untuk langsung melanjutkan ke program doktor. Namun, kita juga tak bisa menutup mata bahwa banyak yang melesat tanpa mengukir jejak yang berarti.

Ketika ditanya perasaannya menjadi mahasiswa termuda dan meraih IPK tertinggi, Willy hanya merasa beruntung. Ia percaya pencapaian ini bukan tujuan utama, melainkan tantangan untuk menunjukkan hasil yang lebih baik di masa depan. "Keberhasilan tidak hanya diukur dari cepat atau lambatnya lulus, tetapi dari kualitas dan kontribusi yang bisa diberikan," tutupnya.

Dengan pencapaian yang begitu beragam, tampaknya kita bisa bertanya-tanya apakah gelar doktor kini menjadi permainan cepat, atau justru hanya untuk mereka yang berusaha keras dan disiplin, seperti Hafizurrachman.