Yogyakarta, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), memiliki keunikan yang tak dimiliki provinsi lain di Indonesia. Salah satu yang paling menarik perhatian adalah sistem penetapan gubernur dan wakil gubernurnya yang tidak melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada) seperti yang umum dilakukan di daerah lain. 

Keistimewaan yang dimiliki DIY bukanlah sekadar label, melainkan hasil dari perjalanan sejarah yang panjang. Yogyakarta memiliki peran penting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan status istimewa ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Berbeda dengan daerah lain yang melaksanakan Pilkada, jabatan Gubernur DIY secara otomatis dipegang oleh Sultan Hamengku Buwono yang bertahta, sementara Wakil Gubernur dijabat oleh Adipati Paku Alam. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap sejarah dan peran Kesultanan Yogyakarta serta Kadipaten Pakualaman dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk memahami lebih dalam, mari telusuri sejarah keistimewaan DIY. Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada 5 September 1945, Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII mengeluarkan maklumat yang menyatakan bergabungnya Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman ke dalam NKRI. Ini adalah langkah berani yang memberikan legitimasi bagi negara yang baru merdeka.

Yogyakarta tidak hanya menyumbangkan wilayah dan penduduk, tetapi juga menjadi benteng perjuangan kemerdekaan saat Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Di bawah kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII, Yogyakarta berhasil mengintegrasikan nilai-nilai tradisional dengan sistem pemerintahan modern, menjaga warisan budaya yang kaya.

Dasar hukum keistimewaan DIY terletak pada Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, yang mengakui daerah-daerah istimewa. UU No. 13 Tahun 2012 menjadi tonggak penting dalam pengaturan keistimewaan ini, mengatur secara komprehensif tentang pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, serta aspek kelembagaan dan kebudayaan.

Alasan mengapa Yogya tidak mengadakan Pilkada gubernur adalah sebagai bentuk pengakuan atas hak asal-usul dan pelestarian nilai budaya. Selain itu, sistem ini terbukti efektif dalam menjaga stabilitas sosial dan memajukan kesejahteraan masyarakat. Dengan tidak adanya Pilkada, DIY dapat mengalokasikan anggaran untuk program pembangunan yang lebih bermanfaat.

Namun, sistem ini juga membawa tantangan, terutama dalam konteks modernisasi dan integrasi dengan birokrasi. Yogyakarta harus mampu menyeimbangkan pelestarian nilai-nilai tradisional dengan kebutuhan pembangunan modern, serta menghadapi tantangan sosial-ekonomi dan regenerasi kepemimpinan.

Keberhasilan DIY dalam menghadapi tantangan ini akan menjadi model penting bagi daerah lain dalam mengelola keragaman dan kekhasan daerah dalam bingkai NKRI. Keistimewaan DIY dengan sistem penetapan gubernurnya adalah contoh bagaimana nilai-nilai tradisional dapat berjalan selaras dengan sistem pemerintahan modern.