Brilio.net - Bila kamu sering mampir ke gerai Indomaret tentu sering melihat nasi kepal berbentuk segitiga yang berjajar di etalase dekat kasir. Warnanya begitu mencolok nuansa kuning dengan tulisan warna hijau Suki Onigiri. Harganya juga terjangkau. Kalau belum ada kenaikan harga karena biaya produksi dan inflasi, dengan Rp 10 ribu saja kita bisa mencicipi makanan khas Negeri Sakura tersebut.

Brilio.net pun tak hanya melihat saja namun juga menjajal onigiri yang sudah punya nama dipasaran tersebut. Mencoba varian rasa tuna mayo, isiannya lumayan tebal dan rasanya nggak mengecewakan. Nasinya pun cukup mengenyangkan untuk mengganjal perut kosong dan nggak terlalu bikin lengket di tangan. Walaupun pada awalnya, cukup susah untuk membuka kemasan onigiri jika tak punya trik khusus.

Penasaran dengan produknya, Brilio.net pun bertandang langsung ke pabrik pengolahannya yang ternyata berada di Godean, Sleman, Yogyakarta. Masuk ke gang di area jalan raya, saya langsung disambut oleh salah satu karyawan yang kebetulan masuk shift sore bebarengan dengan kedatangan saya ke pabrik tersebut. Saya langsung dipersilahkan masuk dan duduk di kantor sebelum menemui pemiliknya, perempuan 40-an tahun yang awalnya dapat inspirasi setelah empat tahun menemani suaminya studi di Jepang.

Ide tercetus usai pulang dari Jepang

Uum adalah perintis Suki Onigiri, produk yang terpampang di etalase Indomaret. Ia mengenal makanan berbahan dasar nasi yang dibungkus nori ini saat menemani suaminya melanjutkan studi S3 bidang kedokteran di Jepang selama 4 tahun. Selepas pulang ke Indonesia, ia melihat potensi bisnis pada makanan satu ini.

"Dulu suamiku kan dokter, terus ambil spesialis di Jepang. Di sana aku sering makan onigiri. Terus waktu pulang, aku mencoba berjualan onigiri," kenangnya.

Tak langsung memasarkan produknya setelah pulang dari Jepang, ia memulainya dengan usaha kecil-kecilan. Ia bahkan baru berani mengenalkan produknya setelah satu tahun yang jadi awal mula Uum dalam merintis bisnis kuliner khas Jepang.

juragan suki onigiri dulunya irt  brilio.net

foto: Brilio.net/Ferra Listianti

"Aku pulang dari Jepang tahun 2012, terus mulai nih bisnisnya 2013," sebutnya.

Usaha ini ia rintis karena kegemarannya membuat makanan praktis saat tinggal di Jepang. Simpel tapi juga mengenyangkan dengan nasi, isian tuna ataupun daging yang dibungkus dengan rumput laut atau nori. Ia ingin setelah pulang ke Indonesia, masih bisa menikmati sajian khas Negeri Sakura tanpa harus bertolak jauh ke Jepang.

"Iya karena praktis aja. Misalnya aku lagi nggak masak nasi. Praktis aja. Terus sampai sini pengin aja gitu. Pengin jualan karena di sini belum ada," ungkapnya.

Ini bukan jadi pengalaman pertama Uum dalam berbisnis. Sebelum menikah, diakuinya jika ia memang punya pengalaman membuka berbagai usaha, mulai dari toko seluler hingga berjualan batik. Namun, usaha itu tak bertahan lama. Suki onigiri lah bisnis yang produknya diterima dipasaran dan banyak peminatnya dari tahun ke tahun.

"Dulu tuh juga punya usaha, pernah punya seluler sama pernah nyoba jual batik juga. Terus ternyata yang bisa berkembang sampai sekarang ini ya jualan onigiri," paparnya.

Uum yang saat itu juga menawarkan onigiri kepada Brilio.net kala mendatangi pabriknya mengungkapkan tak ada nama khusus dari bisnisnya. Nama Suki Onigiri ia ambil dari bahasa Jepang yang berarti suka. Harapannya, banyak orang yang menyukai onigiri miliknya.

"Kalau di Jepang itu suki kan artinya suka, ya sudah cuma begitu aja," Uum menambahkan.

Bermula jualan di kantin sekolah

Sebelum menyasar ke berbagai gerai minimarket, Uum memasarkan ke kantin-kantin sekolah. Beberapa kantin sekolah yang jadi sasaran awalnya di antaranya kantin SMAN 3 Yogyakarta dan SMPN 5 Yogyakarta. Ia juga mencoba menitipkannya di kantin UGM. Sebab sang suami, selain menjadi dokter, juga merupakan dosen di Fakultas Kedokteran UGM.

juragan suki onigiri dulunya irt  brilio.net

foto:Instagram/@suki_onigiri

"Tadinya itu aku pasarkan di kantin-kantin sekolah. Terus habis. Kan suami dosen di UGM, di kantin-kantin UGM, terangnya.

Produknya cukup diterima pasar. Kala itu, ia mengenang ia bisa memproduksi sekitar seratus ratus bungkus setiap hari. Tetapi, pemasaran ini terkendala hari libur. Potensi untuk berkembang pun jauh lebih sulit.

"Kendalanya Sabtu-Minggu tutup. Jadi pengin yang produksinya bisa terus-terusan setiap hari," ujarnya dengan penuh semangat.

Akhirnya, ia mulai putar otak untuk mengembangkan bisnisnya lebih besar dan lebih dilirik oleh banyak konsumen. Kini, produknya mulai merambah ke berbagai kota, termasuk Surabaya hingga Bali. Nggak cuma itu, ia juga sudah mendistribusikan ke berbagai jejaring minimarket lain, selain Indomaret, yakni Alfamart hingga Circle K.

"Udah sampai Jakarta, Surabaya. Insya Allah bulan ini udah sampai Bali," katanya.

Tak cuma jangkauan produksinya, pabriknya pun berkembang tak hanya di Jogja saja, tapi juga ia memiliki cabang lain di Bandung dan Malang. Pabrik di Jogja yang menyatu dengan rumahnya ini sebagai pusat kontrol distribusi. Sementara di Malang mengurusi distribusi ke wilayah Jawa Timur, termasuk Surabaya. Sementara itu, di Bandung menyuplai wilayah Jakarta.

Melejit berkat Indomaret

Tentunya, pemasaran hingga berbagai kota tak akan bisa dilakoni jika ia tak memiliki gebrakan dalam bisnis onigirinya. Pada awal tahun 2014, Uum memberanikan diri mencoba jalur pemasaran baru yakni memasukan produknya ke Indomaret. Ia pun mempersiapkan mempersiapkan banyak hal sebelum mempresentasikan produknya. Mulai dari meningkatkan mesin-mesin produksi, mendapatkan perizinan usaha, mendapat sertifikasi halal, hingga legalitas dari LPPOM.

"Awal tahun 2014 saya masukin ke Indomaret. Kurang lebih satu bulan baru ada kampanye buat presentasi," paparnya.

Belum menemukan produk onigiri sejenisnya di pasaran juga membawa keyakinan Uum bisa menjadi nomor satu di pasaran. Kendati kini Indomaret juga memproduksi makanan sejenis dengan nama Yummy Choice Onigiri, ia pun tak gentar. Sebab ia percaya, produknya sudah memiliki konsumen tersendiri yang akan tetap memilih onigiri buatannya.

"Nggak papa sih sejauh ini. Saya masih tetap diizinkan untuk berdampingan berjualan. Karena harganya juga beda, taste-nya juga beda," ujarnya.

Sementara itu, untuk varian rasa Suki Onigiri ada beberapa macam, ada tuna mayo, hot tuna, chicken mayo, hot chicken, dan shirasu teri. Sekarang juga ada rasa baru, beef rendang. Tetapi untuk rasa baru ini, Uum belum memproduksi sebanyak yang lain mengingat ia masih menganalisis keinginan pasar.

juragan suki onigiri dulunya irt  brilio.net

foto:Instagram/@suki_onigiri

"Kalau yang sekarang itu ada 6, tapi yang satu nggak begitu banyak produksinya. Yang ada di toko cuma lima rasa," tambahnya.

Dulu manual pakai tenaga manusia kini andalkan mesin

Dulu hanya dilakukan sendiri, kini ada sekitar 200 karyawan yang bekerja bersama dengannya, mulai dari urusan produksi, distribusi, sampai dengan administratif. Menghasilkan puluhan ribu onigiri yang siap mengganjal perut lapar para pekerja dan mahasiswa, produksinya pun kini menggunakan bantuan mesin. Bahkan, mesin yang digunakan pun dibeli langsung dari Jepang.

juragan suki onigiri dulunya irt  brilio.net

foto:Instagram/@suki_onigiri

"Dulu resepnya sama, cuma proses masaknya yang beda. Dulu manual sekarang pakai mesin," paparnya.

Sebelum menjelajah Jepang untuk membeli mesin yang pas untuk produksinya, semua dikerjakan oleh Uum sendiri. Pada awal-awal produksi, desainnya pun tak seperti saat ini yang berbentuk segitiga dengan tulisan Suki Onigiri dan gambar wajah tertawa. Ia juga harus memotong-motong nori dengan pola yang tak seragam seperti produknya kini.

"Tadinya aku desain sendiri, karena waktu itu belum punya rekanan, produksinya masih sedikit. Jadi aku beli nori yang ada di pasaran itu dibagi dua," ungkapnya.

Ia pun mulai meningkatkan kualitas sejak produknya dipasarkan ke gerai-gerai minimarket. Selain menggunakan mesin, ia juga mengganti plastik yang digunakan. Sebab diungkapkan Uum, jika plastik kemasannya dulu selain desainnya kurang cocok juga belum steril.

"Karena kita pengin perbaikan kualitas, plastik yang saya desain dulu kan norinya nggak terlindungi," jelasnya.

Terkait proses produksi, Uum pun menjabarkan dengan sabar. Sebelum dipasarkan, ia akan membuat isian onigiri baik ayam, tuna, hingga teri. Proses ini akan di dilakukan di pabrik pada pagi hari. Kemudian berlanjut ke proses penanakan nasi di siang hari.

juragan suki onigiri dulunya irt  brilio.net

foto: Brilio.net/Ferra Listianti

"Produksinya itu kita dari pagi masak isinya. Masak isinya dari jam 6, terus jam 2 masak nasi," ujarnya menjelaskan.

Proses belum selesai sampai disitu. Sekitar pukul enam sore hingga sebelum pukul satu dini hari, dilanjutkan dengan proses pembuatan onigiri dan pengemasan. Semua ini dilakukan dengan cepat. Sebab, pada pukul satu dini hari, produk mulai didistribusikan ke toko-toko retail.

Nanti dilanjut jam 1 sampai kurang lebih jam 1 malam. Start-nya sampai ke toko-toko mulai berangkat tim distribusi jam 4. Ke toko 24 jam dulu, terus habis itu ke toko yang reguler," tambahnya lebih lanjut.

Andalkan bahan lokal, kecuali rumput laut

Terkait bahan-bahan yang diproduksi, Uum menjelaskan jika ia menggunakan produk lokal, kecuali rumput laut atau nori sebagai pembungkus nasi. Ia menggunakan bahan baku rumput laut yang langsung dipesan dari China setelah melalui berbagai tahap uji coba untuk produknya.

"Bahan-bahannya lokal semua, kecuali rumput lautnya. Rumput lautnya saya dari China," sebutnya santai.

Bukan tanpa alasan ia memilih bahan baku dari negeri seberang. Tak lain karena produk rumput laut dari China lebih renyah dibanding dalam negeri. Juga, karena rumput laut tersebut sepaket dengan packaging berbentuk segitiga dan kemasan yang seringkali membuat orang kesal lantaran tak tahu cara membukanya.

juragan suki onigiri dulunya irt  brilio.net

foto:Instagram/@suki_onigiri

"Kalau yang beli di sini kan belum termasuk packaging-nya, kalau yang impor itu sudah termasuk packaging-nya. Sama kriuknya lebih kriuk yang saya impor," imbuhnya.

Dari produksi harian yang mulanya hanya seratus untuk menyuplai kantin, sejak dipercaya Indomaret dan dipasarkan ke gerai-gerai minimarket yang lain, produksinya meningkat 30 kalo lipat. Kini, ia bisa memproduksi 30 ribu bungkus perhari. Jumlah itu terus bertambah seiring waktu.

"Karena satu rumput laut itu udah satu packaging sama plastiknya. Itu berarti sama aja dengan jumlah produksinya. Jumlah produksinya sehari bisa 30 ribuan mbak," sebutnya.

Ingin merambah skala nasional

Sebagai pebisnis, Uum tak ingin berpuas diri begitu saja. Banyak keinginan yang belum dicapai pada usahanya ini. Wanita yang dulunya hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga ini ingin mengembangkan usahanya hingga skala nasional. Ia berharap produk onigirinya ini tak hanya dikenal luas oleh orang tapi bisa menjadi salah satu produk yang menancap diingatan.

"Saya pengin ini nggak berhenti sampai di sini. Saya pengin ini sampai ke nasional," harapnya.

Semua ini tentu dengan berbagai evaluasi yang selalu ia lakukan bersama tim-nya. Meski kini ia bisa memproduksi hingga puluhan ribu onigiri, ia selalu menganalisis permintaan pasar untuk menyesuaikan distribusi produknya. Ini menjadi tantangan tersendiri agar produknya makin diterima masyarakat dan sesuai dengan kebutuhan yang mereka inginkan.

"Di evaluasi, ini daerah apa? Oh ini daerah misalnya SD, mereka pada suka yang mayonaise. Ini daerah publik atau pasar, mereka suka yang pedas. Jadi dianalisis setiap hari," katanya lebih lanjut.

Sempat terpuruk masa Covid-19

Kendati demikian, Uum menyadari jika bisnisnya tak berjalan mulus begitu saja, ia banyak menghadapi tantangan. Ia mengaku Mulai dari menerima beragam komplain sampai sempat merugi besar di kala pandemi Covid-19, dimana saat itu perekonomian Indonesia tengah lesu.

"Waktu Covid-19 kita produksi cuma tinggal 10 persen. Kemudian juga sempat merugi untuk operasional," kenangnya saat itu.

Namun, perlahan ia sadar, dengan terus berupaya mempertahankan dan meningkatkan kualitas produknya, maka ia akan tetap bertahan. Bahkan berkembang lebih besar. Kini, ia menjadi salah satu punggawa makanan cepat saji khas Jepang yang sukses berkat memasarkan produk olahan rumput laut.

"Malah semenjak Covid-19 selesai, penjualannya lebih tinggi dibanding 10 tahun yang lalu," menambahkan.